Khasiat amalan puasa sunnah sepanjang tahun
Dalam rangka
menyongsong bulan Muharram, yang merupakan bulan
perdana dalam kalender Islam, maka dalam tulisan ini sengaja tidak
dibicarakan mengenai ada apa dengan bulan Muharram?, dan
tidak pula dibicarakan mengenai issu kebangkitan Islam, tapi mengenai amalan -amalan yang ada di bulan Muharram untuk memperingarti bulan tahun baru oleh kita sebagai orang Islam, karena banyak orang Islam yang tidak beberpa untuk memperingaringatinya malah hanya tahun tahun baru non muslim saja yang diperingatinya, maka dari itu pada blog saya menyampaikannya tentang amalan-amalam sunnah apa saja yang dilakukan pada bulan Muharram atau tahun baru Islam dan ada pula amalan-amalan yang dilakukan selama setahun yaitu berupa puasa sunnah seperti yang kebanyakan dilakukan oleh Rasulullah Saw
A. Puasa Sunnah Senin-Kamis
· Dari Abu Qotadah Al
Anshori RA,
Rasulullah SAW
pernah ditanya, “mengapa engkau puasa
pada hari Senin?”, beliau menjawab dalam haditsnya yang artinya:
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan,
hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku” (HR Muslim).
· Dari Abu Hurairah RA,
Rasulullah SAW
bersabda dalam haditsnya yang artinya: :
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada
hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amalanku dihadapkan (tepat) pada saat aku
sedang berpuasa” (HR Turmudzi).
· Dari ‘Aisyah,
beliau mengatakan dalam haditsnya yang artinya: :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis” (HR An Nasa-i dan
Ibnu Majah).
Faedah Puasa Sunnah Senin-Kamis
1.
Beramal
pada waktu utama yaitu ketika catatan amal dihadapkan di hadapan Allah pada
hari Senin dan Kamis:
2.
Membawa
kemaslahatan untuk badan dikarenakan ada 2 waktu istirahat pada setiap pekan
dengan menjalankan puasa Senin-Kamis;
3.
Jika
Rasulullah SAW mempuasai hari Senin yang merupakan hari kelahirannya, maka bisa
saja umatnya punya amalan rutin mempuasai hari kelahirannya.
B. Puasa Sunnah pada Hari-Hari
Putih ( O~çeã hä} ü )
Yaitu
puasa 3 hari setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan
Qamariyah/Hijriyah.
· Dari Abdullah bin 'Amru bin
Al-'Ash, Rasulullah SAW bersabda
kepadanya :
· Diriwayatkan dari Abu Dzarr RA,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku dalam haditsnya yang artinya:
:
"Wahai Abu
Dzarr, jika engkau ingin berpuasa 3 hari dari salah satu bulan, maka
berpuasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas” (HR.
At Tirmidzi dan al-Nasai. Hadits ini dihasankan oleh al-Tirmidzi).
·
Dari
Jabir bin Abdillah RA, Nabi SAW bersabda :
"Puasa tiga hari setiap bulan itu (pahalanya) adalah puasa dahr (puasa setahun). Dan puasa Ayyamul Bidl (hari-hari putih) adalah hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas" (HR. An Nasai).
C.
Puasa Sunnah di Bulan Muharram
· Puasa Sunnah di
Bulan Muharram :
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya yang artinya::
"Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa
pada bulan Allah (yaitu) Muharram. Se-dangkan shalat yang paling utama sesudah
shalat fardlu adalah shalat malam" (HR. Muslim).
Dalam Hadits tersebut bulan Muharram
dianggap sebagai bulan Allah, berarti bulan yang dimuliakan. Imam Al Qaari
berkata : “Secara lahir, maksudnya semua
hari di bulan”. Tetapi telah disebutkan dalam Hadits Shahih bahwa Rasulullah
SAW sama sekali tidak pernah berpuasa sebulan penuh di luar
bulan Ramadhan. Berarti Hadits ini menganjurkan supaya memperba-nyak puasa pada
bulan Muharram tetapi tidak sebulan penuh.
Dalam Syarah Shahih Muslim ditemukan
keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW mem-perbanyak puasa
pada bulan Sya’ban. Hal ini mungkin sebelum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan
bulam Muharram.
· Puasa Taasuu’aa dan ‘Aasyuuraa :
Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan
Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’
(puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah SAW
melakukannya dan memerin-tahkan para sahabat radhiyallahu
‘anhum untuk melakukannya [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]. Ketika
ditanya tentang keutamaan puasa sunnah ‘Asyura, beliau bersabda dalam haditsnya yang artinya :
“Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun
yang lalu“(HR Muslim).
Lebih utama lagi jika puasa sunnah ‘Asyura itu digandengankan
dengan puasa sunnah Tasu’a (puasa sunnah tanggal 9 Muharram), agar tidak
menyamai orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena ketika disampaikan kepada Rasulullah
SAW bahwa tanggal 10 Muharram itu adalah hari yang
diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda dalam haditsnya yang artinya:
“Kalau
(aku masih) hidup tahun depan, maka - insyaallah - aku akan berpuasa pada tanggal
9 Muharram (bersama
10 Muharram)” (HR Muslim).
Adapun
Hadits yang artinya: :
“Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang
Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR
Ahmad, Al Baihaqi, dan lain-lain).
maka Hadits tersebut lemah sanadnya sehingga
tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum dsunnahkannya berpuasa pada tanggal 11
Muharram (Kitab “Bahjatun Nadhirin” ).
Sebagian ulama berpendapat : di-makruh-kan
berpuasa hari ‘Asyura (10 Muharram) saja tanpa digandeng dengan puasa hari
Tasu’a (9 Muharram) karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tetapi ulama lain
membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandeng dengan puasa
sehari sebelumnya.
Ketika Rasulullah SAW diberitahu oleh orang-orang Yahudi
bahwa mereka berpuasa pada hari ‘Asyura adalah untuk mengenang kemenangan Nabi
Musa AS atas Fir’aun beserta bala tentaranya, maka beliau pun bersabda dalam haditsnya yang artinya:
“Kami lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi
Musa ‘alaihis salam daripada kalian“.
Kemudian, agar tidak menyamai puasanya orang-orang Yahudi maka beliau
SAW mengan-jurkan berpuasa sunnah tanggal 9 (Tasu’a) dan 10
Muharram (‘Asyura).
D.
Puasa Sunnah di Bulan Rajab
Dalam QS
At Taubah : 36 diinformasikan bahwa semenjak diciptakannya langit dan bumi
telah ditetapkan oleh Allah bilangan bulan sebanyak 12, kemudian dtinformasikan
pula bahwa di antara 12 bulan itu ada 4 bulan yang disebut bulan haram (bulan yang
mulia) yang artinya: :
“Di antara 12 bulan itu ada 4 bulan
haram (QS At Taubah : 36).
Maka dalam Hadits Imam Bukhari
dijelaskan oleh Rasulullah SAW bahwa 4 bulan haram itu adalah 3 bulan
berurutan : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, kemudian
meloncat : bulan Rajab. Me-ngenai puasa sunnah pada bulan-bulan haram itu, para
ulama berbeda pendapat dalam tiga versi :
1. Menurut ulama Madzhab Maliki
dan Madzhab Syafi’i, disunnahkan puasa pada keseluruhan 4 bulan haram itu.
2. Menurut ulama Madzhab Hanbali hanya disunnahkan
puasa pada bulan Muharram saja berda-sarkan sabda Nabi SAW, ”Shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu
adalah shalat malam,
sedangkan
puasa
yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram” (HR
Muslim).
3. Menurut ulama
Madzhab Hanafi, hanya disunnahkan puasa 3 hari pada masing-masing bulan haram,
yaitu Kamis, Jum’at, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili : “Al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu” Juz II halaman 590; Abdurrahman Al Jaza-iri : “Al
Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah” Juz I halaman 378, Yusuf Al
Qaradhawi : “Al Mausuu’aatul Fiqhiyah Al Kuwaitiyah”, Juz XXVIII halaman 81;
beserta “Fiqhush Shiyam” halaman 125 dan 141).
Akan tetapi yang rajih (kuat) adalah pendapat
pertama yang mensunnahkan puasa pada keseluruhan 4 bulan haram tersebut
di atas berdasarkan dalil umum tentang masalah ini. (Imam Nawawi : “Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab”
Juz VI halaman 386, Imam Syaukani : “Nailul Authar” halaman 880,
Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah : “Al Jami’ li Ahkamish Shiyam”
halaman 152). Dalilnya adalah Hadits dari Abu Mujibah Al Bahili RA, dari
ayahnya atau pamannya (sang perawi Hadits ragu-ragu) : ”Aku pernah mendatangi Nabi SAW seraya berkata, ’Ya Nabiyyallah, aku adalah
seorang laki-laki yang pernah datang kepadamu pada tahun awal [hijrah]”; Nabi SAW bertanya, ”Lalu mengapa tubuhmu jadi kurus?”; Dia menjawab : ”Aku tidak makan di siang hari, aku hanya
makan di malam hari”; Nabi SAW bertanya lagi : ”Siapakah yang menyuruh kamu menyiksa dirimu sendiri?”; Aku
menjawab : ”Ya Rasulallah, sesungguhnya
aku ini kuat”; Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah
pada bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari setelah Ramadhan”. Aku berkata : ”Aku masih kuat”. Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadlan) dan
dua hari setelah Ramadlan”. Aku berkata : ”Aku masih kuat”. Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadlan) dan tiga hari setelah Ramadlan,
dan berpuasalah pada bulan-bulan haram” (HR Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad).
Imam Syaukani menerangkan, ”Dalam hadits
ini bermuatan hukum disunnahkan puasa pada bulan-bulan haram” (Imam
Syaukani : “Nailul Authar” halaman 881).
Meskipun Nashiruddin Al Albani dalam “Dha’if Abu Dawud” menganggap
lemah terhadap Hadits di atas lantaran adanya ketidakpastian tentang siapa nama
perawi Hadits dari Suku Al Bahilah itu, namun Imam Syaukani tetap menganggap
kuat terhadap Hadits tersebut dengan menukil pendapat Imam Al Mundziri yang
menyatakan bahwa perselisihan tentang nama shahabat seperti itu tidak membuat
suatu Hadits menjadi cacat (Imam Syaukani : “Nailul Authar” halaman 881, “Wablul
Ghamam ‘ala Syifa-il ‘Awam” Juz I halaman 514).
E. Puasa Sunnah di Bulan
Sya’ban
Bulan
Sya'ban adalah bulan yang disukai untuk memperbanyak puasa sunnah. Dalam bulan
ini, Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunnah dalam haditsnya yang artinya: :
Dari
Ummil Mukminin Aisyah RA, ia berkata : "Aku tidak pernah melihat
Rasulullah SAW melakukan puasa sebulan penuh kecuali puasa Ramalan, dan aku (pun)
tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunnah melebihi (puasa sunnah)
di bulan Sya'ban" (HR. Bukhari pada halaman 1969, dan Muslim pada halaman
1156).
Dalam riwayat lain, Aisyah RA berkata dalam haditsnya yang artinya: :
"Bulan yang paling disukai
oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunnah yaitu bulan Sya'ban, kemudian beliau
me-nyambungnya dengan puasa Ramadlan" (HR. Abu Daud pada halaman 2431 dan
Ibnu Majah pada halaman 1649).
Dari
Ummu Salamah RA, ia berkata : "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW
berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya'ban dan Ramadlan" (HR.
Tirmidzi pada halaman 726, An-Nasai Juz IV halaman 150, Ibnu Majah pada halaman
1648, dan Ahmad Juz VI halaman 293).
Imam
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menuturkan :
"Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa sunnah di bulan Sya'ban"
(Fathul
Bari Syarh Shahih Bukhari).
Imam
Ash Shan'ani berkata : “Hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengistimewakan bulan Sya'ban dengan puasa
sunnah lebih banyak dari pada bulan-bulan lainnya. (“Subulus Salam Syarhu Bulughil Maram”
Juz II halaman 239).
Maksud berpuasa 2 bulan
berturut-turut adalah berpuasa sunnah pada sebagian besar bulan Sya'-ban
(sampai 27 atau 28 hari) lalu berhenti puasa sehari atau dua hari sebelum bulan
Ramadlan, baru kemudian dilanjutkan dengan puasa wajib Ramadlan selama satu
bulan penuh. Hal ini sesuai dengan Hadits Aisyah yang tertulis di awal tulisan
ini.
Bulan yang Banyak Dilalaikan :
Para ulama
salaf menjelaskan hikmah di balik kebiasaan Rasulullah SAW memperbanyak puasa
sunnah di bulan Sya'ban. Kedudukan puasa sunnah di bulan Sya'ban dibanding
dengan puasa wajib Ramadlan adalah seperti kedudukan shalat sunnah qabliyah
bagi shalat fardlu. Puasa sunnah di bulan Sya'ban akan menjadi persiapan yang
tepat dan pelengkap bagi kekurangan yang tidak mustahil terdapat pada
pelaksanaan puasa Ramadlan.
Hikmah
lainnya disebutkan dalam Hadits yang bersumber dari Usamah bin Zaid RA, bahwasanya
ia berkata : "Ya Rasulullah, mengapa
aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunnah dalam 1 bulan tertentu yang lebih
banyak dari pada bulan Sya'ban?”, Beliau menjawab dalam haditsnya yang artinya :
"Bulan Sya’ban itu adalah
bulan ketika manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih di antara bulan
Rajab dan Ramadlan). Bulan Sya’ban adalah bulan yang semua amal dibawa naik ke
Hadirat Allah Rabbul ‘Alamin, maka aku ingin amal-amalku diangkat naik ke
hadirat Allah pada saat aku sedeang mengerjakan puasa sunah" (HR.
Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah menshahihkan Hadits ini).
Memperbanyak amalan pada Malam Nishfu Sya’ban
Sebagian ulama berpendapat bahwa terdapat keutamaan khusus
untuk malam Nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan Hadits Shahih dari Abu
Musa Al Asy’ari RA bahwasanya Nabi SAW bersabda dalam haditsnya yang artinya :
“Sesungguhnya Allah melihat pada
malam Nishfu Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik
dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al
Albani).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“… pendapat yang dipegangi mayoritas
ulama termasuk kebanyakan ulama Madzhab Hambali yaitu meyakini adanya keutamaan
malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal
(Hanbali), mengingat adanya banyak Ha-dits yang terkait masalah ini, serta
dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’
Fatawa, Juz XXIII halaman 123).
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam Nishfu Sya’ban, dulu para
tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan
beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam
beribadah di malam itu…” (“Latha-iful
Ma’arif” halaman 247).
F. Puasa Sunnah 6 Hari Bulan
Syawal
Dalam haditsnya yang artinya :
"Barang siapa berpuasa
Ramadlan kemudian melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
seperti berpuasa 1 tahun" (HR. Imam Muslim dari Abu Ayyub Al Anshari).
Dari
Hadits di atas dapat difahami bahwa orang yang berpuasa Ramadlan dan sekaligus
melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia mendapatkan
pahala puasa setahun. Artinya, pahala tersebut merupakan balasan dari 1 paket
puasa Ramadlan dengan 6 hari puasa sunnah di bulan Syawal. Jika seseorang tidak
berpuasa Ramadlan tetapi berpuasa 6 hari di bulan syawal, maka tentu saja ia
tidak mendapatkan pahala tersebut.
Mengenai tatacara 6 hari puasa,
apakah harus berturut-turut ataukah boleh dipisah-pisah, para ulama membebaskan
memilih di antara keduanya. Hanya saja masalahnya,
bolehkah berpuasa 6 hari tersebut sebelum utang puasanya di bulan Ramadlan
diluynasi? Dalam hal ini sejumlah pendapat :
· Madzab Hanafi membolehkan langsung
berpuasa sunnah sebelum meng-qadla puasa Ramadlan karena puasa qadla itu tidak
wajib disegerakan, bahkan kewajibannya sangat luas (lapang).
· Madhab Maliki dan
Syafi’i berpendapat : boleh tapi makruh, karena bisa dianggap menyibukkan diri
dengan amalan sunnah dan mengakhirkan yang wajib.
· Madhab Hambali berpendapat : haram
berpuasa sunnah di bulan Syawal sebelum meng-qadla utang puasa Ramadlan.
Yang rajih
(terkuat) di antara pendapat-pendapat tersebut adalah yang membolehkan puasa sunnah
6 hari di bulan Syawal sebelum meng-qadla utang puasa Ramadlan, karena waktu
(kesempatan) qadla’ itu luas, tidak harus disegerakan. Dalilnya adalah
·
Firman
Allah : “. . . Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain” (QS. Al-Baqarah: 185);
·
Hadits
Aisyah RA, “Aku memiliki beban utang puasa Ramadlan,
tetapi aku tidak sanggup menggantinya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tentu saja Aiysah RA memperbanyak puasa
sunnah di sela-sela tahun itu dengan diketahui oleh Rasulullah SAW,
maka berarti beliau menyetujuinya.
Sedangkan mengenai pahala puasa 6
hari di bulan Syawal bagi yang belum meng-qadla utang puasa Ramadlan, di
kalangan para ulama ada 2 pendapat :
Pertama, keutamaan puasa 6 hari di bulan
syawal hanya bisa diraih oleh orang yang sudah meng-qadla utang puasa Ramadlan
yang telah ditinggalkan karena uzur. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW
tersebut di atas sendiri.
Seseorang disebut
telah berpuasa Ramadlan apabila telah menyelesaikan puasa pada semua
harinya. Imam Al Haitami dalam Tuhfatul
Muhtaj Juz III halaman 457 menjelaskan keutamaan puasa 6 hari di
bulan Syawal bisa diraih dengan menyelesaikan puasa Ramadlan secara tuntas,
yaitu keseluruhan hari-harinya. Jika tidak maka keutamaan tersebut tidak akan
diraih.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’ Juz III halaman 108
berkata, “Keutamaan puasa 6 hari di bulan
Syawal diperuntukkan bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah tersebut dan
telah mengqadla utang puasa Ramadlan dikarenakan uzur. . . .”.
Kedua, keutamaan puasa 6 hari di bulan
Syawal bisa diraih bagi siapapun yang melakukannya sebelum mang-qadla puasa
yang ditinggalkannya di bulan Ramadlan asalkan karena uzur. Orang yang tidak
berpuasa beberapa hari di bulan Ramadlan karena uzur bisa dibenarkan, sehingga
apabila dia berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum melaksanakan qadla’,
maka dia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Nabi SAW
tersebut di atas.
Al Bujairimi dalam “Hasyiyah”-nya melontarkan bantahan
terhadap pendapat yang mengatakan tidak akan diperoleh pahala puasa 6 hari dari
bulan Syawal oleh orang yang mendahulukan puasa tersebut di atas puasa qadla’,
dengan hujjah bahwa sabda Nabi SAW : “Lalu diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan
Syawwal”. Beliau beralasan bahwa kata taba’iyah (yang berarti diikuti)
bisa ber-makna taqdiriyah, artinya kalau puasa tesebut dilaksanakan sesudah bulan
Ramadlan (walaupun masih memiliki utang puasa karena uzur), maka berpuasa 6
hari di bulan syawal itu bisa disebut telah mengikutkan puasa Ramadlan dengan
puasa 6 hari di bulan Syawal.
Ayo kita peringati tahun baru Islam dengan melalui taqarrub dan pendekatan diri kita kepada Allah SWT dengan amalan-amalan sunnah seperti puasa sunnah dalam sepanjang tahun yang sering dilkukan oleh Rasulullah Saw semoga hidup kita menjadi hidup yang selalu mendapatkan naungan hidayah, inayah dan taufiq Allah serta selamat di dunia dan akhirat. Amin
Khasiat amalan puasa sunnah sepanjang tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar