Minggu, 16 Desember 2012

Khasiat Amalan Puasa Sunnah Sepanjang Tahun

 
Khasiat amalan puasa sunnah sepanjang tahun
 
            Dalam rangka menyongsong bulan Muharram, yang merupakan bulan perdana dalam kalender Islam, maka dalam tulisan ini sengaja tidak dibicarakan mengenai ada apa dengan bulan Muharram?, dan tidak pula dibicarakan mengenai issu kebangkitan Islam, tapi mengenai amalan -amalan yang ada di bulan Muharram untuk memperingarti bulan tahun baru oleh kita sebagai orang Islam, karena banyak orang Islam yang tidak beberpa untuk memperingaringatinya malah hanya tahun tahun baru non muslim saja yang diperingatinya, maka dari itu pada blog saya menyampaikannya tentang amalan-amalam sunnah apa saja yang dilakukan pada bulan Muharram atau tahun baru Islam dan ada pula amalan-amalan yang dilakukan selama setahun yaitu berupa puasa sunnah seperti yang kebanyakan dilakukan oleh Rasulullah Saw   
  

A. Puasa Sunnah Senin-Kamis

·     Dari Abu Qotadah Al Anshori RA, Rasulullah SAW pernah ditanya, “mengapa engkau puasa pada hari Senin?”, beliau menjawab dalam haditsnya yang artinya:

Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku” (HR Muslim).

·     Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya yang artinya: :
            Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amalanku dihadapkan (tepat) pada saat aku sedang berpuasa” (HR Turmudzi).

·     Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan dalam haditsnya yang artinya: :


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis” (HR An Nasa-i dan Ibnu Majah).

Faedah Puasa Sunnah Senin-Kamis
1.   Beramal pada waktu utama yaitu ketika catatan amal dihadapkan di hadapan Allah pada hari Senin dan Kamis:
2.   Membawa kemaslahatan untuk badan dikarenakan ada 2 waktu istirahat pada setiap pekan dengan menjalankan puasa Senin-Kamis;
3.   Jika Rasulullah SAW mempuasai hari Senin yang merupakan hari kelahirannya, maka bisa saja umatnya punya amalan rutin mempuasai hari kelahirannya.


B. Puasa Sunnah pada Hari-Hari Putih ( O~çeã hä} ü )
     Yaitu puasa 3 hari setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan Qamariyah/Hijriyah. 
·     Dari Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash, Rasulullah SAW bersabda kepadanya :

"Dan sesungguhnya cukuplah bagimu berpuasa 3 hari dari setiap bulan. Sesungguhnya amal kebajikan itu ganjaran-nya 10 kali lipat, seolah ia seperti berpuasa sepanjang tahun" (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa-i).
·     Diriwayatkan dari Abu Dzarr RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku dalam haditsnya yang artinya: :

 "Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa 3 hari dari salah satu bulan, maka berpuasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas (HR. At Tirmidzi dan al-Nasai. Hadits ini dihasankan oleh al-Tirmidzi).
·     Dari Jabir bin Abdillah RA, Nabi SAW bersabda :

"Puasa tiga hari setiap bulan itu (pahalanya) adalah puasa dahr (puasa setahun). Dan puasa Ayyamul Bidl (hari-hari putih) adalah hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas" (HR. An Nasai).


C. Puasa Sunnah di Bulan Muharram

·     Puasa Sunnah di Bulan Muharram :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya yang artinya::

 "Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada bulan Allah (yaitu) Muharram. Se-dangkan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu adalah shalat malam" (HR. Muslim).

Dalam Hadits tersebut bulan Muharram dianggap sebagai bulan Allah, berarti bulan yang dimuliakan. Imam Al Qaari berkata : “Secara lahir, maksudnya semua hari di bulan”. Tetapi telah disebutkan dalam Hadits Shahih bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah berpuasa sebulan penuh di luar bulan Ramadhan. Berarti Hadits ini menganjurkan supaya memperba-nyak puasa pada bulan Muharram tetapi tidak sebulan penuh.

Dalam Syarah Shahih Muslim ditemukan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW mem-perbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Hal ini mungkin sebelum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulam Muharram.

·     Puasa Taasuu’aa dan ‘Aasyuuraa :
           Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah SAW melakukannya dan memerin-tahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]. Ketika ditanya tentang keutamaan puasa sunnah ‘Asyura, beliau bersabda dalam haditsnya yang artinya :

Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu(HR Muslim).

Lebih utama lagi jika puasa sunnah ‘Asyura itu digandengankan dengan puasa sunnah Tasu’a (puasa sunnah tanggal 9 Muharram), agar tidak menyamai orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena ketika disampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa tanggal 10 Muharram itu adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda dalam haditsnya yang artinya:

Kalau (aku masih) hidup tahun depan, maka - insyaallah - aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram)(HR Muslim).


Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR Ahmad, Al Baihaqi, dan lain-lain).

maka Hadits tersebut lemah sanadnya sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum dsunnahkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram (Kitab “Bahjatun Nadhirin” ).

Sebagian ulama berpendapat : di-makruh-kan berpuasa hari ‘Asyura (10 Muharram) saja tanpa digandeng dengan puasa hari Tasu’a (9 Muharram) karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tetapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandeng dengan puasa sehari sebelumnya.

Ketika Rasulullah SAW diberitahu oleh orang-orang Yahudi bahwa mereka berpuasa pada hari ‘Asyura adalah untuk mengenang kemenangan Nabi Musa AS atas Fir’aun beserta bala tentaranya, maka beliau pun bersabda dalam haditsnya yang artinya:

Kami lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada kalian“.

Kemudian, agar tidak menyamai puasanya orang-orang Yahudi maka beliau SAW mengan-jurkan berpuasa sunnah tanggal 9 (Tasu’a) dan 10 Muharram (‘Asyura).


D. Puasa Sunnah di Bulan Rajab

            Dalam QS At Taubah : 36 diinformasikan bahwa semenjak diciptakannya langit dan bumi telah ditetapkan oleh Allah bilangan bulan sebanyak 12, kemudian dtinformasikan pula bahwa di antara 12 bulan itu ada 4 bulan yang disebut bulan haram (bulan yang mulia) yang artinya: :

“Di antara 12 bulan itu ada 4 bulan haram (QS At Taubah : 36).

Maka dalam Hadits Imam Bukhari dijelaskan oleh Rasulullah SAW bahwa 4 bulan haram itu adalah 3 bulan berurutan : Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, kemudian meloncat : bulan Rajab. Me-ngenai puasa sunnah pada bulan-bulan haram itu, para ulama berbeda pendapat dalam tiga versi :

1.   Menurut ulama Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’i, disunnahkan puasa pada keseluruhan 4 bulan haram itu.

2.   Menurut ulama Madzhab Hanbali hanya disunnahkan puasa pada bulan Muharram saja berda-sarkan sabda Nabi SAW, ”Shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu adalah shalat malam, sedangkan
     puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram” (HR Muslim).
3.   Menurut ulama Madzhab Hanafi, hanya disunnahkan puasa 3 hari pada masing-masing bulan haram, yaitu Kamis, Jum’at, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili : Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu” Juz II halaman 590; Abdurrahman Al Jaza-iri : Al Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah” Juz I halaman 378, Yusuf Al Qaradhawi :Al Mausuu’aatul Fiqhiyah Al Kuwaitiyah”, Juz XXVIII halaman 81; beserta Fiqhush Shiyam halaman 125 dan 141).

Akan tetapi yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama yang mensunnahkan puasa pada keseluruhan 4 bulan haram tersebut di atas berdasarkan dalil umum tentang masalah ini. (Imam Nawawi : “Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab” Juz VI halaman 386, Imam Syaukani : Nailul Authar” halaman 880, Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah : Al Jami’ li Ahkamish Shiyam” halaman 152). Dalilnya adalah Hadits dari Abu Mujibah Al Bahili RA, dari ayahnya atau pamannya (sang perawi Hadits ragu-ragu) : ”Aku pernah mendatangi Nabi SAW seraya berkata, ’Ya Nabiyyallah, aku adalah seorang laki-laki yang pernah datang kepadamu pada tahun awal [hijrah]”; Nabi SAW bertanya, ”Lalu mengapa tubuhmu jadi kurus?”; Dia menjawab : ”Aku tidak makan di siang hari, aku hanya makan di malam hari”; Nabi SAW bertanya lagi : ”Siapakah yang menyuruh kamu menyiksa dirimu sendiri?”; Aku menjawab : ”Ya Rasulallah, sesungguhnya aku ini kuat”; Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari setelah Ramadhan”. Aku berkata : ”Aku masih kuat”. Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadlan) dan dua hari setelah Ramadlan”. Aku berkata : ”Aku masih kuat”. Nabi SAW bersabda : ”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadlan) dan tiga hari setelah Ramadlan, dan berpuasalah pada bulan-bulan haram” (HR Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad). Imam Syaukani menerangkan, ”Dalam hadits ini bermuatan hukum disunnahkan puasa pada bulan-bulan haram” (Imam Syaukani : Nailul Authar” halaman 881).

Meskipun Nashiruddin Al Albani dalam Dha’if Abu Dawud” menganggap lemah terhadap Hadits di atas lantaran adanya ketidakpastian tentang siapa nama perawi Hadits dari Suku Al Bahilah itu, namun Imam Syaukani tetap menganggap kuat terhadap Hadits tersebut dengan menukil pendapat Imam Al Mundziri yang menyatakan bahwa perselisihan tentang nama shahabat seperti itu tidak membuat suatu Hadits menjadi cacat (Imam Syaukani : Nailul Authar” halaman 881, Wablul Ghamam ‘ala Syifa-il ‘Awam  Juz I halaman 514).


E. Puasa Sunnah di Bulan Sya’ban
          Bulan Sya'ban adalah bulan yang disukai untuk memperbanyak puasa sunnah. Dalam bulan ini, Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunnah dalam haditsnya yang artinya: :

Dari Ummil Mukminin Aisyah RA, ia berkata : "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa sebulan penuh kecuali puasa Ramalan, dan aku (pun) tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunnah melebihi (puasa sunnah) di bulan Sya'ban" (HR. Bukhari pada halaman 1969, dan Muslim pada halaman 1156).

Dalam riwayat lain, Aisyah RA berkata dalam haditsnya yang artinya: :

"Bulan yang paling disukai oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunnah yaitu bulan Sya'ban, kemudian beliau me-nyambungnya dengan puasa Ramadlan" (HR. Abu Daud pada halaman 2431 dan Ibnu Majah pada  halaman 1649).


Dari Ummu Salamah RA, ia berkata : "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya'ban dan Ramadlan" (HR. Tirmidzi pada halaman 726, An-Nasai Juz IV halaman 150, Ibnu Majah pada halaman 1648, dan Ahmad Juz VI halaman 293).
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menuturkan : "Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa sunnah di bulan Sya'ban" (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari).
Imam Ash Shan'ani berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengistimewakan bulan Sya'ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari pada bulan-bulan lainnya. (“Subulus Salam Syarhu Bulughil Maram” Juz II halaman 239).
Maksud berpuasa 2 bulan berturut-turut adalah berpuasa sunnah pada sebagian besar bulan Sya'-ban (sampai 27 atau 28 hari) lalu berhenti puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadlan, baru kemudian dilanjutkan dengan puasa wajib Ramadlan selama satu bulan penuh. Hal ini sesuai dengan Hadits Aisyah yang tertulis di awal tulisan ini.

Bulan yang Banyak Dilalaikan :
Para ulama salaf menjelaskan hikmah di balik kebiasaan Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya'ban. Kedudukan puasa sunnah di bulan Sya'ban dibanding dengan puasa wajib Ramadlan adalah seperti kedudukan shalat sunnah qabliyah bagi shalat fardlu. Puasa sunnah di bulan Sya'ban akan menjadi persiapan yang tepat dan pelengkap bagi kekurangan yang tidak mustahil terdapat pada pelaksanaan puasa Ramadlan.

Hikmah lainnya disebutkan dalam Hadits yang bersumber dari Usamah bin Zaid RA, bahwasanya ia berkata : "Ya Rasulullah, mengapa aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunnah dalam 1 bulan tertentu yang lebih banyak dari pada bulan Sya'ban?”, Beliau menjawab  dalam haditsnya yang artinya :

"Bulan Sya’ban itu adalah bulan ketika manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih di antara bulan Rajab dan Ramadlan). Bulan Sya’ban adalah bulan yang semua amal dibawa naik ke Hadirat Allah Rabbul ‘Alamin, maka aku ingin amal-amalku diangkat naik ke hadirat Allah pada saat aku sedeang mengerjakan puasa sunah" (HR. Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah. Ibnu Khuzaimah menshahihkan Hadits ini).

Memperbanyak amalan pada Malam Nishfu Sya’ban
Sebagian ulama berpendapat bahwa terdapat keutamaan khusus untuk malam Nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan Hadits Shahih dari Abu Musa Al Asy’ari RA bahwasanya Nabi SAW bersabda dalam haditsnya yang artinya :

“Sesungguhnya Allah melihat pada malam Nishfu Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “… pendapat yang dipegangi mayoritas ulama termasuk kebanyakan ulama Madzhab Hambali yaitu meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai dengan keterangan Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbali), mengingat adanya banyak Ha-dits yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, Juz XXIII halaman 123).

Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam Nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu…” (“Latha-iful Ma’arif” halaman 247).

 F. Puasa Sunnah 6 Hari Bulan Syawal

Dalam haditsnya yang artinya :

"Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa 1 tahun" (HR. Imam Muslim dari Abu Ayyub Al Anshari).

          Dari Hadits di atas dapat difahami bahwa orang yang berpuasa Ramadlan dan sekaligus melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia mendapatkan pahala puasa setahun. Artinya, pahala tersebut merupakan balasan dari 1 paket puasa Ramadlan dengan 6 hari puasa sunnah di bulan Syawal. Jika seseorang tidak berpuasa Ramadlan tetapi berpuasa 6 hari di bulan syawal, maka tentu saja ia tidak mendapatkan pahala tersebut.

Mengenai tatacara 6 hari puasa, apakah harus berturut-turut ataukah boleh dipisah-pisah, para ulama membebaskan memilih di antara keduanya. Hanya saja masalahnya, bolehkah berpuasa 6 hari tersebut sebelum utang puasanya di bulan Ramadlan diluynasi? Dalam hal ini sejumlah pendapat :

·     Madzab Hanafi membolehkan langsung berpuasa sunnah sebelum meng-qadla puasa Ramadlan karena puasa qadla itu tidak wajib disegerakan, bahkan kewajibannya sangat luas (lapang).

·     Madhab Maliki dan Syafi’i berpendapat : boleh tapi makruh, karena bisa dianggap menyibukkan diri dengan amalan sunnah dan mengakhirkan yang wajib.

·     Madhab Hambali berpendapat : haram berpuasa sunnah di bulan Syawal sebelum meng-qadla utang puasa Ramadlan.

Yang rajih (terkuat) di antara pendapat-pendapat tersebut adalah yang membolehkan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum meng-qadla utang puasa Ramadlan, karena waktu (kesempatan) qadla’ itu luas, tidak harus disegerakan. Dalilnya adalah 

·     Firman Allah : “. . . Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 185);

·     Hadits Aisyah RA, “Aku memiliki beban utang puasa Ramadlan, tetapi aku tidak sanggup menggantinya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tentu saja Aiysah RA memperbanyak puasa sunnah di sela-sela tahun itu dengan diketahui oleh Rasulullah SAW, maka berarti beliau menyetujuinya.

Sedangkan mengenai pahala puasa 6 hari di bulan Syawal bagi yang belum meng-qadla utang puasa Ramadlan, di kalangan para ulama ada 2 pendapat :

Pertama, keutamaan puasa 6 hari di bulan syawal hanya bisa diraih oleh orang yang sudah meng-qadla utang puasa Ramadlan yang telah ditinggalkan karena uzur. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW tersebut di atas sendiri.

Seseorang disebut telah berpuasa Ramadlan apabila telah menyelesaikan puasa pada semua harinya. Imam Al Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj Juz III halaman 457 menjelaskan keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawal bisa diraih dengan menyelesaikan puasa Ramadlan secara tuntas, yaitu keseluruhan hari-harinya. Jika tidak maka keutamaan tersebut tidak akan diraih.

Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’ Juz III halaman 108 berkata, “Keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawal diperuntukkan bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah tersebut dan telah mengqadla utang puasa Ramadlan dikarenakan uzur. . . .”.

Kedua, keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawal bisa diraih bagi siapapun yang melakukannya sebelum mang-qadla puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadlan asalkan karena uzur. Orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadlan karena uzur bisa dibenarkan, sehingga apabila dia berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal sebelum melaksanakan qadla’, maka dia berhak mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Nabi SAW tersebut di atas.

Al Bujairimi dalam “Hasyiyah”-nya melontarkan bantahan terhadap pendapat yang mengatakan tidak akan diperoleh pahala puasa 6 hari dari bulan Syawal oleh orang yang mendahulukan puasa tersebut di atas puasa qadla’, dengan hujjah bahwa sabda Nabi SAW : “Lalu diikuti dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal”.  Beliau beralasan bahwa kata taba’iyah (yang berarti diikuti) bisa ber-makna taqdiriyah, artinya kalau puasa tesebut dilaksanakan sesudah bulan Ramadlan (walaupun masih memiliki utang puasa karena uzur), maka berpuasa 6 hari di bulan syawal itu bisa disebut telah mengikutkan puasa Ramadlan dengan puasa 6 hari di bulan Syawal. 

Ayo kita peringati tahun baru Islam dengan melalui taqarrub dan pendekatan diri kita  kepada Allah SWT dengan amalan-amalan sunnah seperti puasa sunnah dalam sepanjang tahun yang sering dilkukan oleh Rasulullah Saw semoga hidup kita menjadi hidup yang selalu mendapatkan naungan hidayah, inayah dan taufiq  Allah serta selamat di dunia dan akhirat. Amin

Khasiat amalan puasa sunnah sepanjang tahun

Tidak ada komentar: